Tugu Binokasih Sumedang

Tugu Binokasih Sumedang adalah sebuah monumen selamat datang ke Kota Sumedang dari arah Bandung.

Daerah lingkungan Monumen Tugu Taman Endog

Ini merupakan daerah Taman Endog bagian Jembatan Pasifik

Masjid Agung Sumedang

Penampakan bagian atap Masjid Agung Sumedang.

Bendungan Jatigede Sumedang

Ini adalah penampakan bagian Bendungan Jatigede Sumedang.

Jans Park Sumedang

Salah satu bagian dari Jatinangor Park Nasional Sumedang.

ZAKAT FITRAH

 


Sumedang - Zakat adalah salah satu dari lima pilar utama dalam agama Islam dan merupakan kewajiban keuangan yang dikenakan kepada umat Muslim yang mampu untuk membersihkan harta seseorang dari sifat-sifat negatif seperti kekikiran, keserakahan, dan egoisme. 

Zakat merupakan ibadah yang mengandung unsur sosial, ekonomi, dan spiritual. Selain itu, zakat juga salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan pahala dan keberkahan dari-Nya. Zakat mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan jiwa, serta menumbuhkan dan mengembangkannya dengan berbagai kebaikan, berasal dari kata "zaka" yang memiliki makna suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. (Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq: 5).

Zakat fitrah merupakan salah satu rukun Islam. Oleh karena itu, melaksanakan zakat fitrah hukumnya adalah wajib bagi yang memenuhi syarat. Adapun bagi umat Muslim yang memenuhi syarat untuk membayar zakat fitrah ini disebut muzakki.

Dilansir dari laman resmi Badan Amil Zakat Nasional, zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan.

"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau saw memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (HR Bukhari Muslim)

Dalil Naqli tentang Zakat :

Terdapat beberapa ayat yang jelas dan tegas di dalam Al-Qur'an yang mulia, yang memerintahkan, berzakat dan sholat (Idul Fitri) sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, sekaligus menerangkan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dalil-dalil baik yang ada dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi Saw.

1.    QS. Al-Baqarah : 43

Dalam QS. Al-Baqarah : 43  disebutkan :

وَاَ قِيْمُواالصَّلٰوةَ وَاٰ تُواالزَّكٰوةَ وَا رْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

"Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 43).

 

Dalam tafsir Kitab Jalalain karya  Imam Jalaluddin disebutkan makna dari surat Al-Baqarah ayat 43 :

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْن

Artinya : “Dan dirikanlah salat, bayarkan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk)

Maksudnya salatlah bersama Muhammad dan para sahabatnya. Lalu Allah Taala menunjukkan kepada para ulama mereka yang pernah memesankan kepada kaum kerabat mereka yang masuk Islam, Tetaplah kalian dalam agama Muhammad, karena ia adalah agama yang benar!

2.    QS. At-Taubah : 177

Disebutkan juga dalam ayat lainnya pada QS. Al-Baqarah 2: Ayat 177

لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ وَلٰـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ وَا لْمَلٰٓئِکَةِ وَا لْكِتٰبِ وَا لنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰ تَى الْمَا لَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنَ وَا بْنَ السَّبِيْلِ ۙ وَا لسَّآئِلِيْنَ وَفِى الرِّقَا بِ ۚ وَاَ قَا مَ الصَّلٰوةَ وَاٰ تَى الزَّکٰوةَ ۚ وَا لْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عٰهَدُوْا ۚ وَا لصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَآءِ وَا لضَّرَّآءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ ۗ اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Artinya : "Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 177)

3.    Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi yang mampu.”

4.    Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Barangsiapa yang diberi harta oleh Allah lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya itu akan dijadikan seekor ular besar yang berbisa yang akan melilit lehernya, kemudian ular itu akan menggigit kedua pipinya sambil berkata: Aku hartamu, aku simpananmu.”

Tujuan Membayar Zakat Fitrah

Agar lebih memaknai, ada baiknya kita paham untuk apa membayar zakat fitrah ini dilakukan. Berikut ini penjelasannya.

Mensucikan Diri

Membayar zakat fitrah dapat dilakukan sepanjang bulan Ramadan, namun dianjurkan untuk dilakukan pada penghujung bulan Ramadan. Hal ini karena zakat fitrah dapat membersihkan kembali diri orang berpuasa dari perbuatan sia-sia yang dilakukannya selama bulan Ramadan. Seperti difirmankan Allah dalam Q.S. At-Taubah : 103 di bawah ini :

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya : “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. At-Taubah : 103)

Perbuatan sia-sia ini memiliki konteks yang luas, seperti berkata kotor, bergunjing, dan lainnya. Oleh karena itu, zakat fitrah memiliki peran untuk mensucikan diri dari segala kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadan.

Pelengkap Ibadah Puasa di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan merupakan bulan penuh hikmah dan ampunan. Oleh karena itu, setiap orang berlomba-lomba untuk melakukan ibadah di bulan Ramadan. 

Zakat fitrah sebagai salah satu rukun Islam, dapat menjadi pelengkap ibadah puasa di bulan Ramadan.

Bentuk Kepedulian Kepada 8 Golongan Penerima Zakat

Zakat fitrah diperuntukkan kepada 8 golongan penerima zakat. Diantaranya adalah fakir, miskin, amil, mualaf, riqab atau hamba sahaya, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil atau musafir.

Dengan membayar zakat fitrah, Anda membagi rezeki yang diperoleh dengan yang membutuhkan dan memiliki hak terhadap rezeki tersebut. Oleh karena itu, fakir miskin dapat menjalani Idul Fitri dan dapat merayakan Idul Fitri sebagai hari kebahagiaan.

Jenis-Jenis Zakat

Zakat terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Zakat fitrah: Zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim pada bulan Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Zakat fitrah berupa bahan makanan pokok yang disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat. Besaran zakat fitrah adalah 2,5 kg atau 3,5 liter per orang.
  2. Zakat mal: Zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memiliki harta melebihi nisab (batas minimal) dan telah mencapai haul (masa kepemilikan) selama satu tahun hijriyah. Zakat mal berlaku untuk harta-harta seperti emas, perak, uang, ternak, hasil pertanian, perdagangan, profesi, pertambangan, dan lain-lain. Besaran zakat mal bervariasi tergantung jenis hartanya, mulai dari 2,5% hingga 20%.

Syarat-Syarat Zakat

Syarat-syarat zakat adalah sebagai berikut:

  1. Beragama Islam
  2. Orang merdeka (bukan budak)
  3. Harta yang dimiliki halal
  4. Kepemilikan penuh atas hartanya
  5. Mencapai nisab sesuai jenis hartanya
  6. Mencapai haul sesuai dengan ketentuannya
  7. Tidak memiliki hutang
  8. Harta atau penghasilan yang bertambah

Rukun-Rukun Zakat

  1. Niat.
  2. Harta yang dizakati
  3. Pemberi zakat
  4. Penerima zakat

Asnaf (Golongan) Penerima Zakat

  1. Fakir: Orang yang sangat miskin dan tidak memiliki harta sama sekali atau harta yang dimilikinya tidak mencapai nisab.
  2. Miskin: Orang yang miskin dan memiliki harta tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
  3. Amil: Orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan mengelola zakat.
  4. Muallaf: Orang yang baru masuk Islam atau cenderung masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk memperkuat imannya.
  5. Riqab: Orang yang terbelenggu perbudakan atau hutang dan membutuhkan bantuan untuk membebaskan dirinya.
  6. Gharimin: Orang yang berhutang untuk kepentingan umum atau mendesak dan tidak mampu membayar hutangnya.
  7. Fisabilillah: Orang yang berjuang di jalan Allah SWT, seperti mujahidin, da’i, ilmuwan, pelajar, dan lain-lain.
  8. Ibnu sabil: Orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan kehabisan bekal atau mengalami kesulitan.

Sumber : Penulis ambil dari beberapa sumber.

·        https://baznas.jogjakota.go.id/detail/index/29612

·        https://www.megasyariah.co.id/id/artikel/edukasi-tips/donasi-dan-amal/zakat-fitrah

 


Hukum Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat

 


Sumedang - Orang yang sedang shalat pada hakikatnya sedang bermunajat kepada Allah . Dalam keadaan bermunajat ini, tidak layak bagi siapa pun untuk mengganggu ibadah shalatnya dengan rangkaian aktivitas lain yang dapat merusak kekhusyukan, termasuk dengan melintas di depan orang yang sedang shalat. Dalam hadits dijelaskan:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً

Artinya : Kalau saja orang yang berjalan di depan orang shalat tahu sesuatu (dosa) yang akan ia dapatkan, maka sungguh berdiam (menunggu selesai shalat) selama 40 lebih baik baginya daripada berjalan di depan orang yang shalat. Abu Nadhar (Rawi) berkata, 'Saya tidak tahu apakah Rasulullah berkata 40 hari, bulan, atau tahun'.(HR. Bukhari)

Hadits di atas secara tegas menunjukkan bahwa lewat di hadapan orang yang sedang shalat adalah perbuatan yang sangat tidak dianjurkan. Namun yang patut ditanyakan, apakah melewati orang yang sedang shalat adalah larangan yang sampai terkena hukum haram, atau hanya sebatas makruh? Sebelumnya patut dipahami bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah melewati di jalan antara tubuh orang yang sedang shalat dengan sutrah (penghalang) yang dijadikan sebagai pembatas. Misalnya, melawati di tengah sajadah-sajadah orang yang sedang shalat, sebab sajadah merupakan contoh dari sutrah, sehingga melewati jalan yang sudah keluar dari batas sutrah adalah hal yang diperbolehkan.  Dalam menyikapi status hukum dari melewati orang yang sedang shalat, para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat yang kuat, hukum lewat di depan orang yang sedang shalat adalah haram. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, lewat di depan orang yang sedang shalat tidaklah sampai berakibat hukum haram, tapi hanya sebatas makruh. Meskipun pendapat yang dianggap shahih (benar) menurut Imam Baghawi dan para ulama lain adalah hukum haram. Penjelasan ini seperti yang tercantum dalam kitab al-Majmuala Syarh al-Muhadzab:

 إذا صلى الي سترة حرم علي غبره المرور بينه وبين السترة ولا يحرم وراء السترة وقال الغزالي يكره ولا يحرم والصحيح بل الصواب انه حرام وبه قطع البغوى والمحققون 

Artinya : Jika seseorang melaksanakan shalat dengan sutrah (penghalang) maka haram bagi orang lain lewat diantara orang yang sedang shalat dan sutrah, sedangkan lewat di luar sutrah adalah hal yang tidak diharamkan. Imam Al-Ghazali berpendapat (hukum lewat di depan orang shalat) makruh, tidak sampai haram. Namun pendapat yang shahih bahkan pendapat yang benar bahwa sesungguhnya lewat di depan orang shalat adalah haram. Pendapat demikian adalah yang dipastikan (tanpa keraguan) oleh Imam Baghawi dan ulama lain yang ahli memutuskan hukum beserta dalilnya(Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmuala Syarh al-Muhadzab, Juz 3, Hal. 249)

Meski dihukumi haram, namun ada saat-saat tertentu bagi seseorang diperbolehkan melewati orang yang sedang melaksanakan shalat, misalnya ketika akan buang hajat, tidak ada jalan lain selain melewati orang yang sedang shalat, serta keadaan-keadaan lain sekiranya melewati orang yang shalat terdapat sisi kemaslahatan yang melampaui kemudaratan melewati orang yang sedang shalat. Diperbolehkan melintas pula saat orang yang shalat ceroboh, misalnya, dengan membiarkan shaf di depannya kosong lalu melaksanakan shalat di tempat yang biasa dilewati orang.  Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa melewati orang yang shalat adalah perbuatan yang diharamkan, atau setidaknyamenurut Imam al-Ghazalimakruh. Pendapat yang paling kuat adalah haram. Keharaman ini akan menjadi hilang ketika terdapat uzur yang meperbolehkan lewat di depan orang yang shalat. Wallahu alam.

 

Sumber: 

1. https://nu.or.id/syariah/hukum-lewat-di-depan-orang-yang-sedang-shalat-EGqst

2. https://images.app.goo.gl/889EdCQ9tb9XXjLU8 

Bolehkan Sholat Tahajud Jika Sudah Sholat Witir di Bulan Ramadhan? Ini Kata Ustadz Adi Hidayat

 


Sumedang - Bagi yang bertanya-tanya bolehkan Sholat Tahajud jika sudah Sholat Witir di bulan suci Ramadhan?, ini kata Ustadz Adi Hidayat.

Umat muslim kini telah memasuki hari ke-11 puasa di bulan Ramadhan 2024. Pada bulan ini, umat muslim kerap memperbanyak amal ibadah pada saat bulan Ramadhan. Salah satu amal ibadah yang dikerjakan umat muslim ialah dengan memperbanyak sholat malam.

Di bulan suci Ramadhan ini umat muslim dianjurkan mengerjakan sholat malam, seperti Sholat Tarawih hingga Sholat Witir. Sebagai mana dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim nomor 1216, berbunyi:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ

Artinya: Rasulullah SAW mengerjakan shalat, antara shalat Isya dan Shubuh sebelas rakaat, beliau salam setiap dua rakaat dan shalat Witir satu rakaat. (HR. Muslim: 1216).

Hal itu dilakukan umat muslim agar mendapat pengampunan dan keberkahan dari Allah SWT. Sementara Sholat Witir merupakan sholat sunnah yang dikerjakan untuk menutup sholat malam.

Lantas bolehkah sholat tahajud jika sudah sholat witir?

Melansir melalui Muslimah Hijrah ID, berikut Ustadz Adi Hidayat menjelaskan tentang ketentuan melaksanakan sholat tahajud jika sudah sholat witir.

Seperti hadits di atas, Ustadz Adi Hidayat juga menyampaikan bahwa bulan Ramadhan dianjurkan memperbanyak sholat malam.

"Di bulan Ramadhan kita dianjurkan memperbanyak sholat malam, baik sifatnya qiyamul lail yang dikerjakan sebelum kita tidur," kata Ustadz Adi Hidayat, Kamis (21/3/2024).

Anjuran sholat sunnah malam yang dimaksud Ustadz Adi Hidayat ini juga tertuang dalam Al Quran Surah Al Muzzammil ayat  7 dan 20.

Berikut bacaan QS Al Muzzammil ayat 7:

اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيۡلِ هِىَ اَشَدُّ وَطۡـاً وَّاَقۡوَمُ قِيۡلًا

Artinya: Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.

Selain sholat tarawih dan witir, sholat sunnah malam yang juga dianjurkan dikerjakan di sepertiga malam itu ialah sholat tahajud.

Menurut Ustadz Adi Hidayat, sholat tahajud ini baik dikerjakan ketika sudah melaksanakan tidur terlebih dahulu.

"Atau pun bisa Anda kerjakan dengan tahajud, yaitu sholat yang ditunaikan pasca Anda istirahat atau tidur terlebih dahulu," terangnya.

Anjuran melaksanakan sholat tahajud ini tertuang dalam Al Quran Surah Al Isra ayat 79 hingga 81.

"Dalilnya terdapat di dalam Al Quran Surah ke-17 ayat 79 sampai 81”,

وَمِنَ الَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَ ‌ۖ عَسٰۤى اَنۡ يَّبۡعَـثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا‏

Artinya: Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.

Menanggapi pertanyaan tentang bolehkah sholat tahajud jika sudah sholat witir, ini kata Ustadz Adi Hidayat.

Menurutnya, dua sholat sunnah malam itu ditunaikan dengan ketenangan, kenyamanan dan kebaikan.

"Dua hal ini bila Anda kerjakan di malam bulan Ramadhan sifatnya disebut dengan tarawih yaitu sholat yang ditunaikan dengan ketenangan, kenyamanan dan kebaikan," ujarnya.

Adapun waktu pengerjaan sholat tahajud dan tarawih ini cukup berbeda.

Di mana sholat tahajud dapat dikerjakan di waktu sepertiga malam atau setelah tidur dan bangun kembali.

Sedangkan sholat tarawih dan witir dikerjakan setelah sholat Isya atau di malam harinya.

"Boleh setelah Isya sebelum tidur, boleh di malam hari Anda kemudian tidur terlebih dahulu tunaikan di malam harinya,"

Terkait dengan pertanyaan itu, Ustadz Adi Hidayat mengatakan boleh saja melaksanakan sholat tahajud jika sudah sholat witir.

Pelaksanaan itu diperbolehkan, asalkan tidak memberatkan umat muslim.

"Adapun terkait apakah malamnya boleh sholat lagi?, maka ulama menyampaikan itu boleh dikerjakan, silahkan sepanjang itu tidak memberatkan Anda," pungkasnya.

 

Sumber : Bolehkan Sholat Tahajud Jika Sudah Sholat Witir di Bulan Ramadhan? Ini Kata Ustadz Adi Hidayat (msn.com)

Fiqih Puasa: Suntik dan Infus Apakah Membatalkan?

 


Sumedang - Saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, tubuh idealnya dalam kondisi sehat dan prima agar dapat melakukan puasa hingga usai. Karena, orang yang sakit keras dalam syariat mendapatkan keringanan untuk membatalkan puasa dan berkewajiban untuk mengqadhanya di kemudian hari.    Namun, terdapat sebagian orang sakit yang tetap bersikukuh untuk melakukan puasa dan menyuntikkan obat ataupun dipasangi selang infus sebab penyakit atau prosedur medis tertentu.   Lalu apakah tindakan demikian dapat membatalkan puasa? Pasalnya, terdapat cairan yang masuk ke dalam tubuh.

Sebelum beranjak pada hukum fiqih, perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan antara suntik dan infus. Kebanyakan, suntik berisi cairan obat-obatan adapun infus merupakan metode pemberian obat atau cairan nutrisi yang berfungsi untuk menggantikan cairan maupun zat makanan dari tubuh melalui pembuluh darah vena.

Perbedaan kandungan zat itu membuat efek penggunaan suntik dan infus menjadi berbeda, setelah diinfus tubuh seseorang cenderung terasa segar dan tidak merasa lapar meski juga tidak kenyang. Sedangkan, penggunaan injeksi atau suntik adalah murni sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit bukan sebagai nutrisi pengganti zat makanan dan minuman.


Menilik ketetapan fiqih, melakukan suntik saat puasa hukumnya diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Akan tetapi, mengenai batal dan tidaknya puasa terjadi tarik ulur pendapat di kalangan ulama.   Menurut pendapat pertama, hukumnya membatalkan puasa secara mutlak sebab perkara yang dimasukan ke dalam tubuh akan sampai ke dalam perut. Menurut pendapat kedua, hukumnya tidak membatalkan puasa secara mutlak, sebab sampainya hal tersebut tidak melalui lubang tubuh yang terbuka.    

Sementara itu, menurut pendapat ketiga yang menjadi pendapat ashah hukumnya diperinci: Jika sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh itu masuk dalam kategori nutrisi penyuplai makanan (pengganti makanan), atau bukan nutrisi namun masuknya melalui urat nadi atau otot yang terbuka dan mengarah ke dalam perut maka hukumnya dapat membatalkan puasa.  Jika bukan demikian, maka hukumnya tidak membatalkan puasa.   Ketiga pendapat ini terangkum dalam kitab At-Taqriratus Sadidah yang ditulis oleh Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff :

حُكْمُ الْإِبْرَةِ: تَجُوْزُ لِلضَّرُوْرَةِ، وَلَكِنْ اخْتَلَفُوْا فِي إِبْطَالِهَا لِلصَّوْمِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَقُوْلُ:  فَفِيْ قَوْلٍ: إِنَّهَا تُبْطِلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهَا وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ. وَفِي قَوْلٍ: إِنَّهَا لَا تُبْطِلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهَا وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ مِنْ غَيْرِ مَنْفَذٍ مَفْتُوْحٍ. وَقَوْلٌ فِيْهِ تَفْصِيْلٌ وَهُوَ الْأَصَحُّ إِذَا كَانَتْ مَغْذِيَةً فَتُبْطِلُ الصَّوْمَ وَإِذَا كَانَتْ غَيْرَ مَغْذِيَةٍ فَنَنْظُرُ إِذَا كَانَتْ فِيْ الْعُرُوْقِ الْمُجَوَّفَةِ وَهِيَ الْأَوْرَدَةُ فَتُبْطِلُ، وَإِذَا كَانَ فيِ الْعَضَلِ وَهِيَ الْعُرُوْقُ غَيْرِ الْمُجَوَّفَةِ فَلَا تُبْطِلُ

Artinya : “Hukum suntik diperbolehkan karena kondisi darurat, akan tetapi ulama berselisih pendapat dalam membatalkan puasa sebab perkara tersebut dalam tiga pendapat: Suntik membatalkan puasa secara mutlak, sebab dapat sampai ke perut. Tidak membatakan secara mutlak sebab sampainya ke perut tidak memalui jalur lubang yang terbuka. Pendapat yang di dalamnya terdapat perincian. Pendapat ini merupakan ashah. Yakni: Jika hal tersebut (menancapkan jarum) bersifat menguatkan atau memberi asupan maka dapat membatalkan puasa; sedangkan apabila tidak demikian maka dilihat, (a) jika jarum itu ditancapkan di otot yang terbuka (urat nadi) maka dapat membatalkan, sedangkan (b) jika di otot yang tidak terbuka maka tidak membatalkan.” (Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff, At-Taqrirat As-Sadidah fil Masail Al-Mufidah [Tarim: Dar Al-Ulum Al-Islamiyyah], halaman 452)


Kendati demikian, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri (wafat 1422 H) dalam kitabnya Syarhul Yaqutun Nafis mengutip pernyataan sebagian ulama bahwa penggunaan suntik semacam ini tidak masuk melalui jalur yang semestinya, sehingga perkara tersebut tidak sampai membatalkan puasa :

أَمَّا حُكْمُ اْلإِبْرَةِ قَالُوْا إِنَّ اْلإِبْرَةَ الَّتِي يُحْقَنُ بِهَا اْلمَرِيْضُ تَمُرُّ بِاْلعُرُوْقِ وَتَصِلُ إِلَى اْلجَوْفِ فَتَفْسُدُ اْلصَّوْمَ. لَكِنْ قَالَ بَعْضُ اْلعُلَمَاءِ: كُلُّ مَا يَدْخُلُ إِلَى اْلجِسْمِ مِنْ مَنْفَذٍ غَيْرِ طَبِيْعِيٍّ فَإِنَّهُ لاَ يَبْطُلُ بِهِ اْلصَّوْمُ

Artinya, “Adapun hukum jarum dikatakan bahwa sesungguhnya jarum yang disuntikkan pada orang yang menderita sakit dan melalui otot yang terbuka (urat nadi) serta sampai pada rongga tubuh maka puasanya batal. Akan tetapi, sebagian ulama menyatakan bahwa setiap perkara yang masuk tubuh dari jalur yang tidak normal maka hal tersebut hukumnya tidak membatalkan puasa.” (Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarhul Yaqutun Nafis fi Mazhabi Ibni Idris [Jeddah: Dar Al-Minhaj], halaman 307).


Sejumlah penjelasan di atas mengantarkan pada kesimpulan: Penggunaan jarum suntik saat menjalankan ibadah puasa hukumnya tidak membatalkan, karena sampainya perkara tersebut tidak melalui jalur normal dari lubang tubuh yang terbuka selama tidak disuntikkan pada bagian otot yang terbuka atau urat nadi. Praktik infus hukumnya dapat membatalkan puasa sebab bersifat menguatkan atau memberikan asupan nutrisi terhadap tubuh. Wallahu a’lam bisshawab.   

Sumber : Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren ditulis di https://islam.nu.or.id/ramadhan/fiqih-puasa-suntik-dan-infus-apakah-membatalkan-jv89J


URGENSITAS SHOLAT

 


SUMEDANG Sholat merupakan rukun Islam kedua yang terdiri dari sholat wajib dan sholat sunah. Sholat wajib artinya sholat yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Sementara sholat sunah, kita akan mendapatkan pahala jika melakukannya tetapi jika tidak mengerjakan tidak akan mendapatkan dosa.

Hadits sholat tiang agama bisa menjadi pengingat kita agar selalu senantiasa menjalankan sholat lima waktu, apapun keadaan kita. Allah SWT memerintahkan umatnya untuk menjalankan sholat fardhu dalam Al-Qur'an yang menghubungkan seseorang dengan Allah SWT.

Perintah untuk sholat juga tercantum dalam surat Al-Isra ayat 78 :

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Sholat adalah tiang agama, sehingga jika kita tidak melaksanakannya maka akan roboh. Dari Mu'adz bin Jabal, Nabi SAW bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

Artinya: "Inti segala perkara adalah Islam dan tiangnya yang merupakan sholat." (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3973.)

Ada juga hadits yang menegaskan bahwa sholat menjadi pembeda antara seorang muslim dengan orang kafir. "Perjanjian antara kami dengan orang kafir adalah sholat. Barangsiapa yang meninggalkan sholat maka ia telah kafir." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).

Selain hadits, perintah sholat fardhu juga dituangkan dalam Surat Hud ayat 114:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ

Artinya: "Dan dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS Hud: 114).

Sholat juga memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berdasarkan ayat tentang sholat dalam Quran Surat Al-Ankabuut ayat 45, Allah SWT berfirman

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Artinya: “Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Juga dalam Q.S. An-Nisa (4) : 103 disebutkan bahwa mendirikan ibadah shalat lima waktu merupakan kewajiban setiap umat Islam yang sudah dewasa (mukallaf).

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya : “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin. (Q.S : An-Nisa : 103)

Amal manusia yang paling pertama dihisab di hari kiamat dan menjadi standar baik buruk amalnya yang lain adalah sholat lima waktu. Seperti Dikutip dari Petunjuk Lengkap Tentang Sholat  oleh Dr Said bin Ali, Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِننْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ

Artinya : "Yang paling pertama dihisab pada seorang hamba di hari kiamat adalah sholat . Jika (sholat nya) baik, maka baiklah seluruh amalnya, sedangkan jika (sholat nya) buruk, maka buruklah seluruh amalnya.”

Dari Tamim ad-Dari radhiyallahu anhu beliau berkata secara marfu' (Rasulullahbersabda):

إنَّ أوَّلَ ما افتَرضَ اللَّهُ على النَّاسِ من دينِهِمُ الصَّلاةُ ، وآخرَ ما يبقى الصَّلاةُ ، وأوَّلَ ما يحاسبُ بِهِ الصَّلاةُ ، ويقولُ اللَّهُ انظُروا في صلاةِ عبدي . فإن كانت تامَّةً كُتِبت تامَّةً ، وإن كانت ناقصةً يقولُ : انظُروا هل لعبدي تطوُّعٍ ؟ فإن وُجِدَ لَهُ تطوُّعٌ تمَّتِ الفريضةُ منَ التَّطوُّعِ ، ثمَّ قالَ : انظُروا هل زَكاتُهُ تامَّةٌ ؟ فإن كانت تامَّةً كُتِبت تامَّةً ، وإن كانت ناقِصةً قالَ : انظروا هل لَهُ صدقةٌ ؟ فإن كانت لَهُ صدقة تمَّت له زَكاتُهُ

Artinya : “Yang paling pertama dihisab dari seorang hamba adalah sholat nya, jika dia menyempurnakannya maka akan dicatat sempurna. Namun jika dia tidak menyempurnakannya, Allah berkata kepada Malaikat-Nya, “Lihatlah, apakah kalian dapatkan pada diri hamba-Ku perbuatan-perbuatan sunnah yang menyempurnakan kewajibannya.' Kemudian setelah itu ditanya tentang zakatnya, kemudian amal ibadah lainnya akan diambil berdasarkan hal itu." (HR Abu Daud, 1/228, no 864, 866, Ibnu Majah, 1/458, no 1425, Ahmad, 4/65, 103, 5/377).

Sumber : Dihimpun penulis dari beberapa sumber