WONOGIRI - Kahyangan, nama itu tak lagi asing bagi warga Solo Raya. Terutama bagi warga yang tengah laku spiritual. Pasalnya, lokasi yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri ini, tepatnya di Desa Dlepih Kecamatan Tirotomoyo atau berjarak 50 KM dari pusat kota Wonogiri, tak lepas dari kisah Danang Sutowijaya (kelak bergelar Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram) bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yang kala itu sedang berupaya mencari wahyu raja yang saat itu masih berada di tangan sang ayah bernama Ki Ageng Pemanahan.
Untuk menuju ke Kahyangan, sebenarnya tidaklah sulit. Sebab, akses jalan menuju lokasi sangatlah mulus. Terik matahari begitu menyengat saat tiba di Desa Dlepih. Khayangan sendiri terletak di kawasan pegunungan Desa Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri yang dikelilingi hutan hijau, lembah jurang yang sangat curam serta air terjun alami yang mengalir di sela bebatuan pegunungan. Sehingga, untuk menuju ke lokasi itu, harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Selo Bethek, Salah satu petilasan di Kahyangan.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan darat dari kota Wonogiri, maka sampailah ke wilayah Kahyangan Desa Dlepih tersebut. Perlu diketahui bahwa Kahyangan merupakan tempat sakral yang sering dipakai untuk ngalap berkah. Maka tidak heran apabila pada hari-hari tertentu (malem Selasa Kliwon, Jum'at Kliwon dan malem 1 Syuro) sering didatangi oleh banyak orang baik dari wilayah Tirtomoyo - Wonogiri maupun orang dari luar daerah tersebut semata-mata untuk mencari peruntungan berkah. Bahkan para pejabat pun banyak yang datang untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk meningkatkan kariernya dalam pekerjaan dan jabatannya, tak terkecuali Wakil Presiden Try Sutrisno pada waktu itu (tahun 90-an) juga datang ke Kahyangan tersebut.
Kahyangan, merupakan tempat yang masih ada kaitannya dengan Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul, mempunyai pantangan pengunjung tidak diperkenankan memakai baju berwarna hijau. Sehingga, ketika kita datang ke Kahyangan ada salah satu warga bertanya kepada kita. "Mas, boten mbeto klambi hijau kan? (mas, tidak membawa baju warna hijau kan?)," tanya warga Dlepih yang mengaku bernama Sarif.
Mendengar pertanyaan itu kita pun balik bertanya, "Memangnya kenapa pak kalau bawa baju warna hijau?"
"Itu pantangannya mas. Kalau mau ke sana tidak boleh pakai warna hijau. Biarpun pakaian itu ditaruh di dalam tas. Kalau dilanggar, anda sendiri yang akan celaka," jawab Sarif.
"Oh begitu ya pak, terima kasih atas informasinya," jelas kita.
Setelah itu, kami pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Nama Kahyangan tak lepas dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Kala itu, Panembahan Senopati yang masih bernama Danang Sutowijoto berhasil membunuh Haryo penangsang.
Atas jasanya menang melawan Haryo Panangsang, akhirnya Danang Sutowijoyo mendapatkan hadiah dari Sultan Pajang kala itu yakni Sultan Hadiwijaya berupa tanah perdikan di Mentaok (Kotagede).
Saat itu Ki Ageng Pemanahan (ayah Panembahan Senopati) menjabat sebagai penguasa di tanah Mentaok masih di bawah kekuasaaan Sultan Pajang, yakni Hadiwijaya. Meski begitu Danang Sutowijoyo tetap bersikukuh menuju hutan Kahyangan menjalani laku bertapa mencari kebenaran wahyu keprabon. Hingga dalam perjalanannya,sampailah di sebuah desa terpencil (Dlepih) arah Tenggara kota Wonogiri.
Di lokasi inilah, masyarakat sekitar mempercayai bila Panembahan Senopati, sebelum mendirikan tahta dinasti Mataram Islam di tanah Jawa, bertemu dengan penguasa Laut Kidul, Kanjeng Ratu Kidul. Dilokasi yang kini diberi nama Kahyangan itulah, Panembahan Senopati akhirnya mendapatkan wahyu keprabon untuk mendirikan kerajaan Mataram Islam di tlatah (tanah) Jawa.
Selain itu, saat Danang Sutowijoyo bertemu dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul itulah terjadi 'perjanjian gaib' antara keduanya. Dimana dalam perjanjian gaib itu ditegaskan semua raja Mataram di tanah Jawa, harus menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul.
Mitos tersebut hingga saat ini masih dipercaya khususnya oleh masyarakat di Jawa. Disakralkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana. Termasuk menjelang pencalegan inipun banyak warga masyarakat yang ingin duduk di kursi Wakil Rakyat pun berbondong-bondong datang ke lokasi tersebut.
Hutan Kahyangan Dlepih dikeramatkan karena pernah digunakan sebagai tempat bertapa bagi Sunan Kalijaga (salah satu Wali Songo), Raden Danang sutawijaya (putra angkat Sri sultan Hadiwijaya di Pajang), Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Hanyokrokusumo), Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I).
Kahyangan Tempat Wisata Alam Mistis
Wisata alam Kahyangan sendiri selama ini memang dikenal sebagai tempat wisata alam yang mistis. Berjarak 50 kilometer dari pusat kota Wonogiri, bumi Kahyangan bisa ditempuh dengan waktu hampir 1,5 jam, warga sekitar lokasi menyebutnya sebagai Bumi Kahyangan.
Dilansir dari laman Pemkab Wonogiri, dari sekian banyak wisata alam di Wonogiri, Bumi Kahyangan menyimpan sejuta misteri. Sejak awal masuk lokasi, bau dupa menusuk hidung. Hal ini langsung membuat nuansa mistik yang begitu kental meyelimuti kawasan tersebut. Kahyangan sendiri memiliki enam tempat yang biasa dikenal sebagai Sela Gapit atau Sela Penangkep, Sela Payung, Sela Betek, Sela Gilang atau Sela Pesalatan, Sela Gawok dan Pemandian Kahyangan.
Nah, kawasan ini merupakan pertemuan dua arus sungai yang dikenal dengan nama Kedung. Konon katanya setiap bagian dari Kahyangan memiliki ceritanya masing-masing. Bahkan sering kali, tempat-tempat ini kerap dijadikan ritual ngalap berkah. Baik dari kalangan artis, pejabat, maupun orang biasa sering mandi dikedung ini.
Ritual Rutin Malem 1 Syuro
Setiap menjelang malam pergantian tahun Islam atau 1 Muharam, tempat ini dipadati pengunjung yang berniat mengadakan ritual atau hanya sekedar piknik saja. Tak hanya warga masyarakat Wonogiri saja, namun juga dari luar, seperti DI Jogjakarta, Solo, Pacitan dan Karanganyar.
Pemerintah setempat pun sudah mengemas even 1 Muharam dengan Sedekah Bumi Kahyangan. Dari upacara ritual arak-arakan sesajen, hingga hiburan wayang kulit semalam suntuk.
Nah, dari sekian tempat yang ditawarkan Bumi Kahyangan ada satu tempat yang unik yakni Sela Payung. Sesuai dengan namanya, batu seperti Payung ini sering dijadikan tempat bertapa atau meditasi dan juga tempat ritual. Konon, tempat ini diyakini sebagai tempat bertapanya Panembahan Senopati.
Dua sungai di Kahyangan (Tempuran)
Sementara, di atas Kedung terdapat batu besar yang membentang ke arah kiblat yang dikenal dengan nama Sela Gilang atau pesalatan. Tempat ini dikenal sebagai tempat sembahyangnya Panembahan Senopati.
Diyakini masyarakat Jawa, tepat di atas Batu Gilang itu, Panembahan Senopati bertemu dengan penguasa Laut Selatan mengadakan perjanjian. Yakni untuk membangun Pulau Jawa untuk lebih tentram dan makmur.
0 comments:
Posting Komentar