Sumedang -
Prabu Tajimalela menjadi sosok penting bagi masyarakat Kabupaten Sumedang. Sosok inilah yang mencetuskan nama Sumedang Larang pada saat masih zaman kerajaan. Salah satu petilasan Prabu Tajimalela yang sering didatangi pengunjung adalah yang berada di puncak Gunung Lingga atau di dekat Dusun Sempurmayung, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang. Prabu Tajimalela memiliki nama lain, yakni Batara Tungtang Buana. Ia adalah pewaris tahta dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Ayahnya itu memerintah sekitar tahun 1.500 Masehi.
Hal itu sebagaimana dikutip dari Jurnal Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168; Sejarah Kerajaan Sumedang Larang oleh Euis Thresnawaty S. Prabu Guru Aji Putih terlahir dari Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari. Aria Bimaraksa sendiri adalah cucu dari Wretikandayun atau pendiri kerajaan Sunda Galuh pada 612 Masehi. Prabu Guru Aji Putih lalu menikahi Dewi Nawangwulan dengan melahirkan empat orang putra diantaranya berturut-turut Prabu Tajimalela, Aji Saka, Haris Darma dan Langlang Buana.
Kerajaan Tembong Agung menjadi kerajaan berpengaruh. Selain mendapat dukungan dari salah satu kerajaan besar di tatar Sunda, yakni Kerajaan Galuh, Kerajaan Tembong Agung juga telah mampu menyatukan dusun-dusun yang tersebar di kaki gunung di sekitaran Sumedang kini dan sebagian Majalengka dan Kuningan. Saat Prabu Guru Aji Putih meninggal dunia, estafet kerajaan dilanjutkan oleh putra sulungnya, yakni Batara Tungtang Buana atau yang lebih dikenal dengan Prabu Tajimalela. Di tangan Batara Tungtang atau Prabu Tajimalela inilah Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi Sumedang Larang. Nama tersebut, dipilihnya setelah dirinya mempelajari ilmu Kasumedangan. Ilmu Kasumedangan dalam sumber tradisi disebutkan, Batara Tungtang melakukan perjalanan ke beberapa tempat termasuk Gunung. Hingga ia memutuskan untuk berhenti di Gunung Mandala Sakti yang berada di sekitar Situraja.
Konon di sanalah ia memperoleh ilmu Kasumedangan. Dari sekembalinya dari sana pula ia lebih memilih kerajaannya bernama Sumedang Larang dan mengganti namanya menjadi Prabu Tajimalela. Masih dalam Jurnal Patanjala disebutkan bahwa kata Sumedang berasal dari sebuah kalimat insun medal, insun madangan. Kalimat tersebut mengacu pada kejadian saat Prabu Tajimalela menobatkan anak keduanya, yakni Gajah Agung sebagai penerus Tahta Kerajaan kelak.
Saat itu, terjadi peristiwa langit yang diterangi oleh cahaya. Melihat peristiwa itu ia pun mengucapkan sebuah kalimat Ingsun medal, ingsun madangan, kaulabijil, kaulanyaangan (aku terlahir, aku memberi penerangan). Maka dari situlah kata Sumedang terlahir. Dalam buku Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942 karya Nina H Lubis (1998); disebutkan bahwa dalam tradisi Sunda sebelum pengaruh Mataram masuk, konsep kekuasaan tersirat dalam naskah amanat Galunggung. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa seseorang dapat menjadi penguasa di suatu daerah apabila ia menguasai kabuyutan di daerah tersebut. Bila seorang raja berhasil menguasai kabuyutan dengan cara bertapa maka akan mendapat kejayaan dan kekayaan. Dalam hal ini, kekuasaan dicapai dari sesuatu yang keramat, sedangkan kekayaan hanyalah sebagai atribut kekuasaan.
Salah seorang petugas dari BPCB Banten atau yang menjaga petilasan Prabu Tajimalela, Didi Suandi (47) menuturkan kawasan Gunung Lingga menjadi tempat terakhir bagi Prabu Tajimalela melakukan pertapaannya setelah menyelesaikan pertapaan di Gunung Simpai yang berada di wilayah Cibugel, Sumedang. "Di sini eyang Prabu (Tajimalela) harus tapa brata terakhir, dan sama anak-anaknya saat itu disangkannya bahwa eyang Prabu Tajimalela ini sudah meninggal, tapi saat di lihat ke lokasi ternyata eyang Prabu sudah tidak ada," tutur Didi kepada detikjabar di lokasi, Jumat (20/1/2023). Didi mengungkapkan, petilasan Prabu Tajimalela sendiri dulunya dinamai sebagai makam watu. Hal itu tidak lain lantaran dikelilingi oleh bebatuan. Dari bebatuan-bebatuan itu, sambung Didi, ada diantaranya bebatuan yang menjadi makam Tajimalela. Bebatuan tersebut yakni bebatuan yang memiliki dua tengger atau tutungul. "Kemudian ada batu lainnya, yakni batu tempat bertapa dan batu tempat bersembahyangnya Prabu Tajimalela," ujarnya.
Baca artikel detikjabar, "Sosok Prabu Tajimalela Sang Pencetus Sumedang Larang"
selengkapnya https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6527304/sosok-prabu-tajimalela-sang-pencetus-sumedang-larang.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
0 comments:
Posting Komentar